Oleh: Suut Amdani*
Hampir tidak percaya ketika mendengar pengakuan Amien Rais menerima dana nonbujeter dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk dana kampanye pemilihan presiden 2004 silam. Hal ini sama halnya pengungkapan tindak kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) oleh Inu Kencana Syafi’i.
Hampir semua kasus besar diungkap oleh pelakunya sendiri. Boleh dibilang hal semacam ini sebagai penebusan dosa yang tergerak oleh hati nurani atau hanya latah. Satu yang dapat dihargai dari mereka yaitu keberanian untuk mengungkap kasus-kasus tersebut dan siap menerima tantangan yang akan menghadang.
Harus di akui bahwa di Indonesia banyak kasus besar yang terkesan disembunyikan. Hanya sedikit yang muncul kepermukaan dan mampu di ekspose oleh media. Itupun hanya sedikit yang tuntas di tangan hukum. Kong-kalikong acapkali menjadi hal yang menjadikan sulitnya penegak hukum mengambil tindakan yang tegas.
Langkah Politis
Langkah Amien Rais memberikan keterangan kepada pers perihal kasus aliran dana pada kampanye pilpres 2004 adalah langkah yang tepat. Siapa yang tidak takut pada kekuatan media yang mampu membangun opini publik yang luar biasa. Langkah-langkah seperti ini dapat diartikan sebagai perang terbuka namun penuh selimut awan putih dan mematikan.
Mau tidak mau semua yang terlibat dalam kasus ini akan merasa tertekan, terancam pada ranah image. Jika tidak disikapi secara cepat maka mosi tidak percaya pada pemerintahan SBY akan terbangun. Tidak ayal banyak tokoh yang diduga terlibat dalam kasus ini kang kabut membuat statemen di media untuk menjaga kepentingan dan citra masing-masing.
Apa sebenarnya point yang ingin dicapai dalam pemunculan kasus ini oleh Amien? Kris Nugroho Pengamat Politik dari Universitas Airlangga mengatakan tuduhan Amien Rais dan bantahan SBY tentang dana non budgeter dari DKP, substansinya lebih pada politik. Kris menegaskan, hal ini bisa dilihat sebagai kampanye hitam untuk meruntuhkan seseorang. Karena mendekati tahun 2009 kondisi makin memanas, dan melihat komunikasi elit politik lebih pada praktek mencari kambing hitam (Surabaya.net, Jumat, 25/05). Sedangkan dalam fersi Amien menyatakan ini adalah murni dari hati nurani untuk kepentingan negara.
Pertemuan selama 12 menit, Minggu (27/05), di Bandara Halim Perdana Kusuma konon mengakhiri konflik politik antara Amien dan SBY. Agak melegakan memang jika memang benar kedua tokoh politik ini secara sadar untuk tidak main politik lagi dalam kasus ini dan lebih mementingkan dalam hal kenegaraan. Sedangkan kesepakatan untuk mengakhiri konflik politis pada pertemuan 12 menit itu dinilai langkah yang tepat oleh banyak fihak. Meski begitu, mereka meminta masalah dana DKP tetap diusut sesuai aturan hukum yang berlaku.
”Saya menyambut baik perdamaian yang dilakukan Pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-red) dan Pak Amien. Sebagai elite politik keduanya harus memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana menyelesaikan masalah tanpa masalah lagi,” kata Hidayat di sela-sela acara maulid dan silaturahmi bersama 2.500 ustazah se-DKI Jakarta di lapangan Tenis Indoor, Senayan, Jakarta, Selasa (29/5). Namun, menurut Hidayat, masalah dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tetap harus dituntaskan. ”Jangan dibiarkan seperti ini. Timbul saling tuduh, saling fitnah, dan saling curiga. Selesaikan masalah ini secara hukum, tetapi yang berbasis fakta, bukan fitnah,” ujarnya (Solo Pos, Rabu 30/05).
Peluang Impeachment
Bisa jadi terjadi keadaan yang sangat genting ketika kasus terkait aliran dana nonbujeter DKP dan maupun dana dari Washington, dijadikan alat impeachmen oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menurunkan SBY sebelum 2009. Amien menilai kasus dana nonbujeter DKP telah disikapi oleh berbagai kepentingan politik termasuk lawan-lawan Presiden Yodhoyono. Namun Amien mengutamakan penyelesaian masalah tersebut melalui ranah hukum dan bukan langkah politik.
Hidayat Nur Wahid ketua MPR menyatakan dampak dari impachment adalah jika presiden terbukti dan kemudia MPR menyatakan dimakzulkan maka melalui proses di DPR dan Mahkamah Konstitusi mengharuskan diberlakukannya Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 maka dalam 30 hari Indonesia dipimpin oleh triumvirat (Menlu, Mendagri, Menhan). Dalam 30 hari tersebut MPR mengadakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari pasangna yang diajukan parpol yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.
Ketakutan Hidayat nampak jelas pada statemenya terkait keraguan atas Pasal 8 ayat (3) tidak akan membawa solusi yang tuntas, “Bahkan mengambang dan akan menghadirkan Indonesia entah bagaimana kondisi dan nasibnya pada hari ke 31 hari” (Solo Pos, Rabu 30/05). Kenapa sampai seheboh itu ketakutan para pejabat mengandaikan SBY terbukti dalam kasus ini, toh jalur hukum belum dijalankan namun tersirat jelas jawaban dari ini semua sebelum dimuai jalur hukum. Benarkah SBY dan semua calon mendapat aliran dana itu?
Momenum ini lah yang harus dimanfaatkan untuk menjawab agenda besar reformasi yaitu pemberantasan korupsi. Peran KPK untuk mengusut kasus ini sampai tuntas pada jalur hukum adalah wajib dilakukan. Harapan rakyat atas trasparansi dan tuntasnya kasus ini adalah cermin untuk mengevaluasi jalanya reformasi dan demokrasi di Indonesia. Kejelasan hukum dan ketegasan hukum yang berlaku akan menjadikan kepribadian bangsa yang terhormat. Sehingga pembelajaran demokrasi di Indonesia akan memiliki tiik cerah baru.
*Fakultas Geografi UMS
Pengiat LPM Pabelan