Selasa, 14 Agustus 2007

Membangun Kepercayaan Terhadap Cagub Jateng, Lagi

Oleh:
Suut Amdani*

Ditengah gegap gempita pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jakarta, gerilya Calon Gubernur (Cagub) Jateng ­­-­yang masih satu tahun lagi­-­­­ nampaknya masih sepi dipermukaan. Melihat dari pilkada di Ibukota kendala terberat bagi bakal calon (Balon) gubernur adalah regulasi soal kendaraan politik. Baru dua pasangan yang pasti memenuhi syarat dukungan parpol atau gabungan parpol, dengan minimal 15 persen kursi di DPRD atau suara sah. Keduanya adalah Fauzi Bowo-Prijanto dan Andang Daradjatun-Dani Anwar.

Persoalan yang muncul selanjutnya adalah bagaimanakah proses meminang Parpol untuk menjadi kendaraan bagi Balon Gubernur di pilkada Jateng 2008 nanti. Ternyata tidaklah geratis, konon butuh puluhan milyar untuk mendapatkan tiketnya. “Ya, harus membayar ke Parpol dan itu jumlahnya tidak kecil, bukan hanya ratusan juta rupiah tetapi puluhan milyar rupiah,” papar Wartonegoro –salah seorang anggota tim sukses salah seorang cagub Jateng- yang mengaku tahu persis proses tawar-menawar itu karena dirinya ikut mengantarkan “sang bos” sowan ke sejumlah pimpinan Parpol guna memina izin hendak menumpang Parpolnya sebagai kendaraan untuk menghantarkanya sebagai gubernur, (Solo Pos (11/6)).

Apakah seperti ini “muka” cagub Jateng 2008 natinya yang akan dipilih oleh rakyat sebagai proses demokrasi? Sebenarya kita sudah lelah dengan semua ini, melihat polah politik semacam ini. Bayangkan saja rakyat datang pada pilkada sebagai zombie, artinya demokrasi telah mati karena pilihan rakyat tidak lagi dari hati nurani. Kenapa harus diandaikan seperti itu, bandingkan saja seberapa banyak rakyat yang secara sadar ikut dalam sebuah Parpol dengan yang tidak melek Parpol untuk dapat terlibat dalam pilkada nanti.

Bangun Kepercayaan

Sungguh dramatis ketika mendengar kesah para anggota Parpol yang mengeluh merasa terpaksa memilih calon dari partainya yang notabenenya bukan kader dalam sebuah dialog di sebuah stasiun televisi swasta pekan lalu. Tentunya kita ikut prihatin dengan kondisi tersebut.

Lantas apa lagi yang akan diperjuangkan oleh parpol yang katanya pembawa aspirasi rakyat? Jika idiologi demokrasi telah tergantikan motif ekonomi, maka sekali lagi demokrasi telah mati. Sebenarnya penyegaran kembali atas visi misi parpol sangat diperlukan untuk kembali ke kitahnya sebagai pejuang kepentingan rakyat. Bukankah kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dukungan penuh terhadap kader sebagai cagub di pilkada sebenarnya sebagai bukti eksistensi sebuah parpol. Ini langkah yang harus dilakukan untuk membangun kembali image parpol yang semakin luntur. Memupuk kembali idiologi masing-masing parpol juga tidak kalah penting tentunya.

Dalam konsep demokrasi moderen parpol diadakan sebagai peranti demokrasi paling tepat untuk meraih kekuasaan dengan melibatkan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara secara baik demi mencapai kesejahteraan. Sejauh ini peran parpol dalam fungsi tersebut dirasa masih jauh dari yang diangankan. Ini sebenarnya sebagai warning sejauh mana parpol dalam berperan dan melibatkan masyarakat dalam mengawal berjalanya roda demokrasi.

Adalah peran yang suci yang diemban oleh parpol sebagai alat demokrasi jika mampu menjalankan tugasya. Tidak ada kata terlambat untuk keluar dari belenggu yang telah melekat berkarat, untuk sebuah kemenangan demokrasi yang hakiki.

Calon Inpendent

Bisa jadi wacana pencalonan perseorangan hanya sebagai langkah perlawanan calon yang telah ditolak pinanganya oleh Parpol. Nyatanya wacana atas pencalonan baru muncul disaat mendekati batas akhir pendaftaran calon Pilkada di Jakarta.

Padahal sejak jauh-jauh secara formal DPD pernah mengusulkan agar kesempatan dimasukkan dalam Rancangan UU tentang Pemerintah DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara NKRI. Namun, ide itu tak mendapatkan dukungan publik secara luas.

Gerakan Jakarta Merdeka yang dimotori oleh M Fadjroel Rachman menggulirkan petisi sejuta orang untuk mendorong pemerintah, DPR, MK, dan KPU Jakarta untuk memberi kesempatan kepada calon perseorangan atau independen maju sebagai mitra sepadan untuk menilai kiprah parpol, yang selama ini merupakan pemegang hak pengajuan pasangan calon kepala daerah. Petisi tersebut dimaksudkan untuk memerdekakan diri dari hegemoni politik uang elite dan parpol dalam penetapan pasangan calon. (Kompas (12/6)).

Benarkah wacana pencalon dari perseorangan mendapat respon positif dari rakyat sebesar itu, untuk selanjutnya dapat dikatakan sebagai keinginan bersama untuk sebuah perubahan? Kita tunggu saja apakah wacana tersebut akan sampai di pilkada Jateng 2008 nanti. Peta politiknya jika wacana ini bergulir di pilkada Jateng saat ini juga bisa jadi ini sebagai aspirasi rakyat namun, jika wacana ini muncul diakhir batas pendaftaran cagub sama halnya yang terjadi di pilkada Jakarta jangan-jangan ini hanya langkah perebutan jabatan belaka di bursa pilkada Jateng

Sebenarnya langkah yang tepat saat ini jangan terlalu gegabah dalam menyikapi persoalan regulasi soal pencalonan independen ini, perlu pemikiran yang jernih dan tidak terburu-buru. Karena ekses dari di setujui atau tidaknya sama-sama memiliki pemicu konflik yang cukup besar Semoga pilkada Jateng jauh lebih terhormat dalam pelaksanaanya dengan kembali membawa semangat kebangsaan untuk kesejahteraan. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

*Pegiat, LPM Pabelan

Mahasiswa, Fak. Geografi UMS