Minggu, 11 November 2007

Budaya Mudik Seterusnya Budaya Urbanisasi

Oleh: Suut Amdani*

Mudik telah datang seiring tutup bulan Ramadhan kali ini, tidak jauh-jauh dari pemandangan sebelumnya meskipun himpitan ekonomi semakin sempit, mudik masih saja diminati para perantau.

Kenapa demikian, budaya kalau boleh dibilang begitu karena ya memang dari dulu sudah seperti itu. Namun jika ditanya dalam hati para pemudik pastinya ada alasan penting selain sekadar budaya yang tercipta karena kebiasaan saja.

Mudik boleh juga diartikan secara sederhana dengan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah anda ini seorang pejabat tinggi, direktor maupun pengusaha, ketika dirantau anda tetap saja Mr Nobody atau sekedar nomor saja, tetapi dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak.

Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dihayati di Kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.

Duta Kota
Ada yang menarik terlepas dari makna mudik, sebenarnya pemudik dari kota secara tidak langsung telah menjadi Duta Kota. Duta bagi banyak produk-produk urban. Dari orang kota yang mulai phobia pada ketombe, misalnya, orang-orang kampung akan makin mengenal lebih banyak lagi merek pencuci rambut dari yang selama ini belum mereka kenal.

Orang-orang kota (perantau) secara tak sengaja akan memperkenalkannya ketika mudik. Dering ponsel dimana-mana akan mengajarkan betapa pentingnya komunikasi langsung, secara cepat dan tanpa basa-basi. Gaya hidup semisal mencuci tangan dengan cairan pembersih, pertama-tama mungkin akan mencengangkan orang desa. Tetapi tak tertutup mereka pun bisa jadi makin tak percaya pada air dari sumur mereka sendiri. Mobil-mobil dengan berbagai gaya, ukuran dan simbol juga akan membawa banyak pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok; tentang arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.

Lantas apakah proses pembelajaran itu akan jadi searah saja, dari mereka yang mudik kepada mereka yang diudik? Tidak dapatkah arah itu dibalik, justru yang mudik lah belajar dari yang udik? Tidak dapatkah kita menempatkan diri bukan hanya sebagai ‘duta kota besar,’ melainkan sebagai warga yang kini ingin kembali menggali nilai-nilai dan banyak hal lain yang (mungkin) telah lama hilang?

Nampaknya para pertumbuhan ekonomi acap kali di klaim sebagai jerih payah mereka para pejabat maupun pembisnis besar kota. Para anggota parlemen, yang mulai dari busa tempat duduk di ruang sidang hingga air yang ia gunakan mandi di rumah dinasnya dibayari oleh publik, bisa berkaca tentang apa artinya hidup di udik dengan segala keterbatasannya. Apa harapan dan keprihatinan mereka yang tertinggal itu.

Para pebisnis barangkali bisa pula menggali nilai-nilai yang selama ini terabaikan, baik dalam memilih lahan bisnis, dalam mengiklankan produk, dalam mematok harga dan banyak hal lagi. Saatnya mungkin kita mengukur kejujuran, apakah bahan baku produk kita seperti air, sayuran dan sejenisnya yang kita katakan berasal dari pegunungan, benar-benar berasal dari sana.

Tak kalah penting pula, apakah kita telah memberi imbalan yang pantas kepada mereka yang menghasilkannya, yang secara tidak langsung telah medukung citra produk mau pun perusahaan kita.

Budaya Urbanisasi
Barangkali piar-piar kota tersebut sangat ahli menceritakan bagaimana gaya hidup dikota yang begitu gemerlap, sampai pada ukuran kesuksesan yang disimbolkan dengan merek jins buatan luar negeri seharga setengah kwintal beras mereka.

Tak ayal, Purwanto yang telah dua tahun bertani semenjak menyelesaikan sekolah tingkat menengah pertama ingin ikut mengadu nasib di kota-kota besar yang menyediakan berbagai mimpi yang belum pernah Purwanto bayangkan sebelumnya. Tentunya dengan keterbatsan skill, pendidikan dan semuanya sangat sulit bagi semua orang kampung semacam Purwanto untuk menggapai segudang impian di kota.

Sedangkan volume arus mudik bisa dipastikan akan lebih besar menyerbu kota-kota besar. Perantau-perantau baru selalu menjai masalah pemerintah kota seperi Jakarta. Namun pernahkan kita semua berpikir apa yang sedang terjadi di kampung-kampung udik seperti sekarang ini?

Jawabanya,sama seperti kota-kota besar, dengan keterbaasan potensi daerah yang tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan, banyak kemelaratan terjadi di kampung, harga minyak ataupun listrik sama menyekiknya yang terjadi di kota.

Lantas apakah ini, Indonesia bukan Jakarta, persoalan Indonesia bukan hanya persoalan Ibukota, sedagkan pengharapan satu-satunya dari wakil-wakil rakyat melempem, kandas tak bisa berbuat apa-apa, ada masalah yang lebih penting kata mereka.

**Pegiat LPM Pabelan, Komunitas Penyair Tak Berbakat, Mahasiswa Fak. Geografi

Senin, 01 Oktober 2007

Membangun Daerah Melalui Potensi Unggulan


Setelah berbagai perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 62 hendaknya masyarakat Indonesia tidak melupakan kerja keras untuk terus membangun bangsa ini. Nampaknya masyarakat indonesia mulai diserang yang namanya ‘virus pelayang’, kenapa penulis memberi nama demikian? Lihat saja gejala yang mulai muncul yaitu bumnya bunga Gelombang Cinta dan berbagai jenis Anthrium semisal jemani.
Fenomena ini unik untuk diperhatikan, ketika demam bunga ini menjadi sebuah tren baru yang mewabah hingga kedesa-desa ini bermasalah. Bayangkan ketika para petani menjual sapi-sapi, dan menguras gudang-gudang padi untuk membeli beberapa bibit bunga yang harganya 100 kali lipat dari harga gabah per kilonya.
Dengan mengharap tanaman tersebut dalam beberapa tahun akan menghasilkan uang yang sangat fantastis nantinya. Namun siapa yang bisa menjamin harga bunga Gelombang Cinta akan semahal seperti sekarang ini.
Dalam fenomena meledaknya harga beberapa bunga sebenarnya menyentuh batas irasional, mengapa tidak secara fungsi jelas tanaman hanya sebagai penghias teras. Sedangkan jika jika dibandingkan dengan bunga sekelas angrek tentunya penampilan jemani akan kalah jauh bahkan sebenarnya lebih mirip tumbuhan semak awar-awar yang ada di tepian pantai.
Bisa jadi, masyarakat lebih menyukai membayangkan daripadi melihat realitanya, karena biasanya bembayangkan dijadikan pelarian yang membahagiakan ketika tidak bisa mencapai kenyataannya. Dan akhirnya masyarakat akan menjadi lemah dan kebingungan dalam bidang ekonomi (usaha/bisnis untuk pemenuhan kebutuhan).
Sedangkan pasar bebas sudah diujung pintu dan akhirnya mau tidak mau masyarakat Indonesia harus siap dengan itu.

Otonomi Daerah
Selama kurun waktu 30 tahun pemerintahan maupun ekonomi Indonesia dibangun dengan sistem sentralistik. Alhasil, proses dan pendekatan pembangunan pun seragam dan tak menhiraukan potensi unggulan yang sejatinya menjadi kekuatan daerah. Tak pelak ketimpangan antara pusat dan daerah, aerah satu dengan daerah lainya terjadi.
Ketimpangan inilah sebenarnya yang ingin dikejar pada tiap-tiap daerah, sorang kepala daerah akan dianggap berhasil jika mampu meningkatkan Pendapatan Asli Darah (PAD). Ternyata penggalian sumber PAD itu membawa ekses, berupa peningkatan biaya untuk melakukan bisnis. Keterbatasan anggaran dan lemahnya proiritas kebijakan membuat daerah menggenjot penerimaan pajak dan retribusi.
Pada kenyataanya kebijakan menaikkan pajak dan retribusi kepada pelaku bisnis sangat merugikan, karena banyak investor yang urung melakukan bisnis di daerah tersebut.

Potensi Unggulan
Data yang dilansir Komite Pemantai Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2003 misalnya, menyebut, 500 Perda dari 1300 Perda yang dianalisis, merupakan perda yang bermasalah baik secara prinsip, subtasi maupun teknis. Akibatnya, nilai investasi yang pada taun sebeumnya sempat bertambah US$ 145 juta, pada 2003 berkurang US$ 597 juta. Dan salah satu penyebab kemerosotan itu, disamping masalah birokrasi adalah tingkat perpajakan yang tinggi dan kepastian hukum (TEMPO 19/08).
Paradigma tersebut harus berubah ke paradigma yang memilikipandangan jauh kedepan untuk menumbuh kembangkan perekonomian yang berkelanjutan, dengan kekuatan yang bertumpu pada keunggulan potensi daerah.

** Pimred Pabelan Pos 2005/2006, Pimpinan Perusahaan 2004/2005, Hahasiswa Fak. Geografi UMS (Smt. 11)

Selasa, 14 Agustus 2007

Pengakuan Dosa Yang Sempurna, ...

Oleh: Suut Amdani*

Hampir tidak percaya ketika mendengar pengakuan Amien Rais menerima dana nonbujeter dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk dana kampanye pemilihan presiden 2004 silam. Hal ini sama halnya pengungkapan tindak kekerasan di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) oleh Inu Kencana Syafi’i.
Hampir semua kasus besar diungkap oleh pelakunya sendiri. Boleh dibilang hal semacam ini sebagai penebusan dosa yang tergerak oleh hati nurani atau hanya latah. Satu yang dapat dihargai dari mereka yaitu keberanian untuk mengungkap kasus-kasus tersebut dan siap menerima tantangan yang akan menghadang.
Harus di akui bahwa di Indonesia banyak kasus besar yang terkesan disembunyikan. Hanya sedikit yang muncul kepermukaan dan mampu di ekspose oleh media. Itupun hanya sedikit yang tuntas di tangan hukum. Kong-kalikong acapkali menjadi hal yang menjadikan sulitnya penegak hukum mengambil tindakan yang tegas.

Langkah Politis
Langkah Amien Rais memberikan keterangan kepada pers perihal kasus aliran dana pada kampanye pilpres 2004 adalah langkah yang tepat. Siapa yang tidak takut pada kekuatan media yang mampu membangun opini publik yang luar biasa. Langkah-langkah seperti ini dapat diartikan sebagai perang terbuka namun penuh selimut awan putih dan mematikan.
Mau tidak mau semua yang terlibat dalam kasus ini akan merasa tertekan, terancam pada ranah image. Jika tidak disikapi secara cepat maka mosi tidak percaya pada pemerintahan SBY akan terbangun. Tidak ayal banyak tokoh yang diduga terlibat dalam kasus ini kang kabut membuat statemen di media untuk menjaga kepentingan dan citra masing-masing.
Apa sebenarnya point yang ingin dicapai dalam pemunculan kasus ini oleh Amien? Kris Nugroho Pengamat Politik dari Universitas Airlangga mengatakan tuduhan Amien Rais dan bantahan SBY tentang dana non budgeter dari DKP, substansinya lebih pada politik. Kris menegaskan, hal ini bisa dilihat sebagai kampanye hitam untuk meruntuhkan seseorang. Karena mendekati tahun 2009 kondisi makin memanas, dan melihat komunikasi elit politik lebih pada praktek mencari kambing hitam (Surabaya.net, Jumat, 25/05). Sedangkan dalam fersi Amien menyatakan ini adalah murni dari hati nurani untuk kepentingan negara.
Pertemuan selama 12 menit, Minggu (27/05), di Bandara Halim Perdana Kusuma konon mengakhiri konflik politik antara Amien dan SBY. Agak melegakan memang jika memang benar kedua tokoh politik ini secara sadar untuk tidak main politik lagi dalam kasus ini dan lebih mementingkan dalam hal kenegaraan. Sedangkan kesepakatan untuk mengakhiri konflik politis pada pertemuan 12 menit itu dinilai langkah yang tepat oleh banyak fihak. Meski begitu, mereka meminta masalah dana DKP tetap diusut sesuai aturan hukum yang berlaku.
”Saya menyambut baik perdamaian yang dilakukan Pak SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-red) dan Pak Amien. Sebagai elite politik keduanya harus memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana menyelesaikan masalah tanpa masalah lagi,” kata Hidayat di sela-sela acara maulid dan silaturahmi bersama 2.500 ustazah se-DKI Jakarta di lapangan Tenis Indoor, Senayan, Jakarta, Selasa (29/5). Namun, menurut Hidayat, masalah dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) tetap harus dituntaskan. ”Jangan dibiarkan seperti ini. Timbul saling tuduh, saling fitnah, dan saling curiga. Selesaikan masalah ini secara hukum, tetapi yang berbasis fakta, bukan fitnah,” ujarnya (Solo Pos, Rabu 30/05).

Peluang Impeachment
Bisa jadi terjadi keadaan yang sangat genting ketika kasus terkait aliran dana nonbujeter DKP dan maupun dana dari Washington, dijadikan alat impeachmen oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menurunkan SBY sebelum 2009. Amien menilai kasus dana nonbujeter DKP telah disikapi oleh berbagai kepentingan politik termasuk lawan-lawan Presiden Yodhoyono. Namun Amien mengutamakan penyelesaian masalah tersebut melalui ranah hukum dan bukan langkah politik.
Hidayat Nur Wahid ketua MPR menyatakan dampak dari impachment adalah jika presiden terbukti dan kemudia MPR menyatakan dimakzulkan maka melalui proses di DPR dan Mahkamah Konstitusi mengharuskan diberlakukannya Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 maka dalam 30 hari Indonesia dipimpin oleh triumvirat (Menlu, Mendagri, Menhan). Dalam 30 hari tersebut MPR mengadakan sidang untuk memilih presiden dan wakil presiden dari pasangna yang diajukan parpol yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua.
Ketakutan Hidayat nampak jelas pada statemenya terkait keraguan atas Pasal 8 ayat (3) tidak akan membawa solusi yang tuntas, “Bahkan mengambang dan akan menghadirkan Indonesia entah bagaimana kondisi dan nasibnya pada hari ke 31 hari” (Solo Pos, Rabu 30/05). Kenapa sampai seheboh itu ketakutan para pejabat mengandaikan SBY terbukti dalam kasus ini, toh jalur hukum belum dijalankan namun tersirat jelas jawaban dari ini semua sebelum dimuai jalur hukum. Benarkah SBY dan semua calon mendapat aliran dana itu?
Momenum ini lah yang harus dimanfaatkan untuk menjawab agenda besar reformasi yaitu pemberantasan korupsi. Peran KPK untuk mengusut kasus ini sampai tuntas pada jalur hukum adalah wajib dilakukan. Harapan rakyat atas trasparansi dan tuntasnya kasus ini adalah cermin untuk mengevaluasi jalanya reformasi dan demokrasi di Indonesia. Kejelasan hukum dan ketegasan hukum yang berlaku akan menjadikan kepribadian bangsa yang terhormat. Sehingga pembelajaran demokrasi di Indonesia akan memiliki tiik cerah baru.
*Fakultas Geografi UMS
Pengiat LPM Pabelan

Membangun Kepercayaan Terhadap Cagub Jateng, Lagi

Oleh:
Suut Amdani*

Ditengah gegap gempita pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jakarta, gerilya Calon Gubernur (Cagub) Jateng ­­-­yang masih satu tahun lagi­-­­­ nampaknya masih sepi dipermukaan. Melihat dari pilkada di Ibukota kendala terberat bagi bakal calon (Balon) gubernur adalah regulasi soal kendaraan politik. Baru dua pasangan yang pasti memenuhi syarat dukungan parpol atau gabungan parpol, dengan minimal 15 persen kursi di DPRD atau suara sah. Keduanya adalah Fauzi Bowo-Prijanto dan Andang Daradjatun-Dani Anwar.

Persoalan yang muncul selanjutnya adalah bagaimanakah proses meminang Parpol untuk menjadi kendaraan bagi Balon Gubernur di pilkada Jateng 2008 nanti. Ternyata tidaklah geratis, konon butuh puluhan milyar untuk mendapatkan tiketnya. “Ya, harus membayar ke Parpol dan itu jumlahnya tidak kecil, bukan hanya ratusan juta rupiah tetapi puluhan milyar rupiah,” papar Wartonegoro –salah seorang anggota tim sukses salah seorang cagub Jateng- yang mengaku tahu persis proses tawar-menawar itu karena dirinya ikut mengantarkan “sang bos” sowan ke sejumlah pimpinan Parpol guna memina izin hendak menumpang Parpolnya sebagai kendaraan untuk menghantarkanya sebagai gubernur, (Solo Pos (11/6)).

Apakah seperti ini “muka” cagub Jateng 2008 natinya yang akan dipilih oleh rakyat sebagai proses demokrasi? Sebenarya kita sudah lelah dengan semua ini, melihat polah politik semacam ini. Bayangkan saja rakyat datang pada pilkada sebagai zombie, artinya demokrasi telah mati karena pilihan rakyat tidak lagi dari hati nurani. Kenapa harus diandaikan seperti itu, bandingkan saja seberapa banyak rakyat yang secara sadar ikut dalam sebuah Parpol dengan yang tidak melek Parpol untuk dapat terlibat dalam pilkada nanti.

Bangun Kepercayaan

Sungguh dramatis ketika mendengar kesah para anggota Parpol yang mengeluh merasa terpaksa memilih calon dari partainya yang notabenenya bukan kader dalam sebuah dialog di sebuah stasiun televisi swasta pekan lalu. Tentunya kita ikut prihatin dengan kondisi tersebut.

Lantas apa lagi yang akan diperjuangkan oleh parpol yang katanya pembawa aspirasi rakyat? Jika idiologi demokrasi telah tergantikan motif ekonomi, maka sekali lagi demokrasi telah mati. Sebenarnya penyegaran kembali atas visi misi parpol sangat diperlukan untuk kembali ke kitahnya sebagai pejuang kepentingan rakyat. Bukankah kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dukungan penuh terhadap kader sebagai cagub di pilkada sebenarnya sebagai bukti eksistensi sebuah parpol. Ini langkah yang harus dilakukan untuk membangun kembali image parpol yang semakin luntur. Memupuk kembali idiologi masing-masing parpol juga tidak kalah penting tentunya.

Dalam konsep demokrasi moderen parpol diadakan sebagai peranti demokrasi paling tepat untuk meraih kekuasaan dengan melibatkan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara secara baik demi mencapai kesejahteraan. Sejauh ini peran parpol dalam fungsi tersebut dirasa masih jauh dari yang diangankan. Ini sebenarnya sebagai warning sejauh mana parpol dalam berperan dan melibatkan masyarakat dalam mengawal berjalanya roda demokrasi.

Adalah peran yang suci yang diemban oleh parpol sebagai alat demokrasi jika mampu menjalankan tugasya. Tidak ada kata terlambat untuk keluar dari belenggu yang telah melekat berkarat, untuk sebuah kemenangan demokrasi yang hakiki.

Calon Inpendent

Bisa jadi wacana pencalonan perseorangan hanya sebagai langkah perlawanan calon yang telah ditolak pinanganya oleh Parpol. Nyatanya wacana atas pencalonan baru muncul disaat mendekati batas akhir pendaftaran calon Pilkada di Jakarta.

Padahal sejak jauh-jauh secara formal DPD pernah mengusulkan agar kesempatan dimasukkan dalam Rancangan UU tentang Pemerintah DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara NKRI. Namun, ide itu tak mendapatkan dukungan publik secara luas.

Gerakan Jakarta Merdeka yang dimotori oleh M Fadjroel Rachman menggulirkan petisi sejuta orang untuk mendorong pemerintah, DPR, MK, dan KPU Jakarta untuk memberi kesempatan kepada calon perseorangan atau independen maju sebagai mitra sepadan untuk menilai kiprah parpol, yang selama ini merupakan pemegang hak pengajuan pasangan calon kepala daerah. Petisi tersebut dimaksudkan untuk memerdekakan diri dari hegemoni politik uang elite dan parpol dalam penetapan pasangan calon. (Kompas (12/6)).

Benarkah wacana pencalon dari perseorangan mendapat respon positif dari rakyat sebesar itu, untuk selanjutnya dapat dikatakan sebagai keinginan bersama untuk sebuah perubahan? Kita tunggu saja apakah wacana tersebut akan sampai di pilkada Jateng 2008 nanti. Peta politiknya jika wacana ini bergulir di pilkada Jateng saat ini juga bisa jadi ini sebagai aspirasi rakyat namun, jika wacana ini muncul diakhir batas pendaftaran cagub sama halnya yang terjadi di pilkada Jakarta jangan-jangan ini hanya langkah perebutan jabatan belaka di bursa pilkada Jateng

Sebenarnya langkah yang tepat saat ini jangan terlalu gegabah dalam menyikapi persoalan regulasi soal pencalonan independen ini, perlu pemikiran yang jernih dan tidak terburu-buru. Karena ekses dari di setujui atau tidaknya sama-sama memiliki pemicu konflik yang cukup besar Semoga pilkada Jateng jauh lebih terhormat dalam pelaksanaanya dengan kembali membawa semangat kebangsaan untuk kesejahteraan. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

*Pegiat, LPM Pabelan

Mahasiswa, Fak. Geografi UMS

Selasa, 07 Agustus 2007

Harapan Baru Ditengah Sibuknya Persoalan Bangsa

Oleh: Suut Amdani*
Kekecewaan atau rasa tidak puas terhadap pelaksanaan demokrasi sejauh ini memperkuat dukungan terhadap gagasan calon independen.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin 23 Juli lalu merupakan kabar bagus untuk kondisi demokrasi di Indonesia. Adalah sebuah langkah besar yang diambil oleh MK dengan memutuskan bolehnya calon independen dalam pemilihan kepala daerah. Boleh dikatakan bahwa dominasi partai politik dalam pencalonan pilkada selama ini akan berganti dengan era kebebasan, jika memang keputusan ini telah diperundangkan. Point pentingnya yaitu proses pendemokrasian pilkada dalam hal ini hak untuk memilih dan dipilih dapat terpenuhi.
Trobosan MK dengan putusan ini adalah sebagai kunci pembuka saja karena MK tidak mampu menembus Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tentang pencalonan melalui Parpol, kecuali pasal itu di ubah MPR dan tentunya akan banyak lagi sederet proses panjang untuk mewujudkan pencalonan independen. Betapa tidak keputusan ini baru dalam kajian yang dinyatakan layak secara konstitusi. Artinya butuh payung hukum yang jelas dalam Undang-undang belum lagi aturan persayaratan yang mengatur calon independen.
Dukungan
Kepusan MK sangat butuh dukungan dari banyak pihak. Seberapa besar sebenarnya dukungan terhadap putusan MK ini?
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyatakan untuk tingkat nasional sebanyak 80 persen masyarakat Indonesia setuju calon independen di tingka bupati, walikota, gubernur dan presiden, sedangkan 20 persen lainya menolak. Sementara Direktur Eksekutif LSI Saiful Munjani menyatakan survei dilakukan pada Juli 2007 terhadap 1.300 responden (Solopos 5 Juli).
Secara lebih khusus pendukung PAN, PKS, dan PD, cenderung lebih banyak yang positif terhadap gagasan calon independen. Ini bukan karena partai-partai itu sendiri tapi lebih karena latar belakang pendidikan dari pendukung partai-partai tersebut yang relatif lebih tinggi dibanding pendukung partai-partai lain (www.lsi.or.id).
Lantas bagaimana dengan pemerintah yang merupakan pemain estafet selanjutnya untuk beraksi dalam membawa gagasan pencalonan independen ini sampai finis atau menjadi UU. Tentunya butuh dukungan penuh, mengingat bahwa masih banyak yang akan dikerjakan untuk mengegolkan putusan MK ini menjadi UU.
Sejauh ini belum kelihatan siapa yang akan mengambil posisi untuk melancarkan usulan pencalonan independen ini. Artinya bola liar putusan MK masih terus bergelinding, agaknya semua pihak masih mempelajari ini, atau malah mencari posisi aman saja indikasinya masih sepinya statemen dari kepemerintahan ataupun parpol yang menyatakan setuju atau menolak.
Berita bagusnya keputusan MK sudah di blow up media secara besar-besaran, mau tidak mau pemerintah harus merespon secepat mungkin kalau tidak mau dianggap gagal dalam permasalahan ini. Karena pencalonan independen dianggap sebagai simbol demokrasi oleh publik, terlihat dari survei LSI mencapai 80 persen rakyat setuju artinya opini publik telah terbangun.
Tantangan ini sangat mebingungkan tentunya, siapa yang akan menyelesaikan ini bisa jadi dianggap pembela aspirasi rakyat, disisi lain aparatur pemerintahan adalah anggota parpol juga yang sangat terpengaruh dengan sikap parpol menanggapi pencalonan independen ini.
KPU
Komisi Pemilihan Umum adalah sebagai komisi yang bersifat independen arinya mampu untuk membuat peraturan untuk dirinya sendiri. Pencalonan independen sebenarnya mempunyai kesempatan di bahas disini namun bukan perkara gampang. Melihat sejarah KPU di pemilihan 2004 masih belum efektif nyatanya masih banyak permasalahan yang muncul pada pemilihan presiden tahun lalu.
Permasalahan internal KPU dan banyaknya komplai Parpol pada waktu iu menjadi presedent buruk. Ada baiknya jika KPU harus membenahi dirisendiri melalui fit and properties pada aparaturnya. Sedangkan berkiblat dari banyaknya komplai parpol pada waktu itu bagus kiranya untuk meminta perwakilan semua parpol yang ikut dalam pemilu untuk duduk menjadi bagian dari KPU sehingga persoalan yang muncul mengenai masalah antar parpol dapat segera dirampungkan.
Bersar harapan rakyat untuk merasakan aura kebebasan di negri ini, demokrasi yang murni tanpa kepentingan diri sendiri ataupun golongan. Rakyat untuk dibela, penghormatan hak-hak rakyat haruslah dipandang sebagai semangat kepemrintahan demi kehormatan dan martabat bangsa.
Siapapun nantinya yang akan merumuskan segala peraturan untuk pencalonan independen ini harus mengedepankan kepentingan banyak orang, jangan sampai peraturan yang muncul nantinya hanya “plintiran” belaka. Hirarki pengambilan dan keputusan sebenarnya sudah sangat bagus di indonesia, tinggal bagaimana pelaksanaanya. Kami sebagai rakyat hanya dapat mengingatkan kembali tentang mimpi indah demokrasi kerakyatan.
* Pengiat LPM Pabelan
Mahasisa Fak. Geografi
Universitas Muhammadiyah Surakarta