Mudik telah datang seiring tutup bulan Ramadhan kali ini, tidak jauh-jauh dari pemandangan sebelumnya meskipun himpitan ekonomi semakin sempit, mudik masih saja diminati para perantau.
Kenapa demikian, budaya kalau boleh dibilang begitu karena ya memang dari dulu sudah seperti itu. Namun jika ditanya dalam hati para pemudik pastinya ada alasan penting selain sekadar budaya yang tercipta karena kebiasaan saja.
Mudik boleh juga diartikan secara sederhana dengan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah anda ini seorang pejabat tinggi, direktor maupun pengusaha, ketika dirantau anda tetap saja Mr Nobody atau sekedar nomor saja, tetapi dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak.
Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dihayati di Kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.
Duta Kota
Ada yang menarik terlepas dari makna mudik, sebenarnya pemudik dari kota secara tidak langsung telah menjadi Duta Kota. Duta bagi banyak produk-produk urban. Dari orang kota yang mulai phobia pada ketombe, misalnya, orang-orang kampung akan makin mengenal lebih banyak lagi merek pencuci rambut dari yang selama ini belum mereka kenal.
Orang-orang kota (perantau) secara tak sengaja akan memperkenalkannya ketika mudik. Dering ponsel dimana-mana akan mengajarkan betapa pentingnya komunikasi langsung, secara cepat dan tanpa basa-basi. Gaya hidup semisal mencuci tangan dengan cairan pembersih, pertama-tama mungkin akan mencengangkan orang desa. Tetapi tak tertutup mereka pun bisa jadi makin tak percaya pada air dari sumur mereka sendiri. Mobil-mobil dengan berbagai gaya, ukuran dan simbol juga akan membawa banyak pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok; tentang arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.
Lantas apakah proses pembelajaran itu akan jadi searah saja, dari mereka yang mudik kepada mereka yang diudik? Tidak dapatkah arah itu dibalik, justru yang mudik lah belajar dari yang udik? Tidak dapatkah kita menempatkan diri bukan hanya sebagai ‘duta kota besar,’ melainkan sebagai warga yang kini ingin kembali menggali nilai-nilai dan banyak hal lain yang (mungkin) telah lama hilang?
Nampaknya para pertumbuhan ekonomi acap kali di klaim sebagai jerih payah mereka para pejabat maupun pembisnis besar kota. Para anggota parlemen, yang mulai dari busa tempat duduk di ruang sidang hingga air yang ia gunakan mandi di rumah dinasnya dibayari oleh publik, bisa berkaca tentang apa artinya hidup di udik dengan segala keterbatasannya. Apa harapan dan keprihatinan mereka yang tertinggal itu.
Para pebisnis barangkali bisa pula menggali nilai-nilai yang selama ini terabaikan, baik dalam memilih lahan bisnis, dalam mengiklankan produk, dalam mematok harga dan banyak hal lagi. Saatnya mungkin kita mengukur kejujuran, apakah bahan baku produk kita seperti air, sayuran dan sejenisnya yang kita katakan berasal dari pegunungan, benar-benar berasal dari sana.
Tak kalah penting pula, apakah kita telah memberi imbalan yang pantas kepada mereka yang menghasilkannya, yang secara tidak langsung telah medukung citra produk mau pun perusahaan kita.
Budaya Urbanisasi
Barangkali piar-piar kota tersebut sangat ahli menceritakan bagaimana gaya hidup dikota yang begitu gemerlap, sampai pada ukuran kesuksesan yang disimbolkan dengan merek jins buatan luar negeri seharga setengah kwintal beras mereka.
Tak ayal, Purwanto yang telah dua tahun bertani semenjak menyelesaikan sekolah tingkat menengah pertama ingin ikut mengadu nasib di kota-kota besar yang menyediakan berbagai mimpi yang belum pernah Purwanto bayangkan sebelumnya. Tentunya dengan keterbatsan skill, pendidikan dan semuanya sangat sulit bagi semua orang kampung semacam Purwanto untuk menggapai segudang impian di kota.
Sedangkan volume arus mudik bisa dipastikan akan lebih besar menyerbu kota-kota besar. Perantau-perantau baru selalu menjai masalah pemerintah kota seperi Jakarta. Namun pernahkan kita semua berpikir apa yang sedang terjadi di kampung-kampung udik seperti sekarang ini?
Jawabanya,sama seperti kota-kota besar, dengan keterbaasan potensi daerah yang tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan, banyak kemelaratan terjadi di kampung, harga minyak ataupun listrik sama menyekiknya yang terjadi di kota.
Lantas apakah ini, Indonesia bukan Jakarta, persoalan Indonesia bukan hanya persoalan Ibukota, sedagkan pengharapan satu-satunya dari wakil-wakil rakyat melempem, kandas tak bisa berbuat apa-apa, ada masalah yang lebih penting kata mereka.
**Pegiat LPM Pabelan, Komunitas Penyair Tak Berbakat, Mahasiswa Fak. Geografi
Kenapa demikian, budaya kalau boleh dibilang begitu karena ya memang dari dulu sudah seperti itu. Namun jika ditanya dalam hati para pemudik pastinya ada alasan penting selain sekadar budaya yang tercipta karena kebiasaan saja.
Mudik boleh juga diartikan secara sederhana dengan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah anda ini seorang pejabat tinggi, direktor maupun pengusaha, ketika dirantau anda tetap saja Mr Nobody atau sekedar nomor saja, tetapi dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara ataupun anak.
Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen bukan hanya sekedar basa-basi. Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dihayati di Kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan kita lagi.
Duta Kota
Ada yang menarik terlepas dari makna mudik, sebenarnya pemudik dari kota secara tidak langsung telah menjadi Duta Kota. Duta bagi banyak produk-produk urban. Dari orang kota yang mulai phobia pada ketombe, misalnya, orang-orang kampung akan makin mengenal lebih banyak lagi merek pencuci rambut dari yang selama ini belum mereka kenal.
Orang-orang kota (perantau) secara tak sengaja akan memperkenalkannya ketika mudik. Dering ponsel dimana-mana akan mengajarkan betapa pentingnya komunikasi langsung, secara cepat dan tanpa basa-basi. Gaya hidup semisal mencuci tangan dengan cairan pembersih, pertama-tama mungkin akan mencengangkan orang desa. Tetapi tak tertutup mereka pun bisa jadi makin tak percaya pada air dari sumur mereka sendiri. Mobil-mobil dengan berbagai gaya, ukuran dan simbol juga akan membawa banyak pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok; tentang arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.
Lantas apakah proses pembelajaran itu akan jadi searah saja, dari mereka yang mudik kepada mereka yang diudik? Tidak dapatkah arah itu dibalik, justru yang mudik lah belajar dari yang udik? Tidak dapatkah kita menempatkan diri bukan hanya sebagai ‘duta kota besar,’ melainkan sebagai warga yang kini ingin kembali menggali nilai-nilai dan banyak hal lain yang (mungkin) telah lama hilang?
Nampaknya para pertumbuhan ekonomi acap kali di klaim sebagai jerih payah mereka para pejabat maupun pembisnis besar kota. Para anggota parlemen, yang mulai dari busa tempat duduk di ruang sidang hingga air yang ia gunakan mandi di rumah dinasnya dibayari oleh publik, bisa berkaca tentang apa artinya hidup di udik dengan segala keterbatasannya. Apa harapan dan keprihatinan mereka yang tertinggal itu.
Para pebisnis barangkali bisa pula menggali nilai-nilai yang selama ini terabaikan, baik dalam memilih lahan bisnis, dalam mengiklankan produk, dalam mematok harga dan banyak hal lagi. Saatnya mungkin kita mengukur kejujuran, apakah bahan baku produk kita seperti air, sayuran dan sejenisnya yang kita katakan berasal dari pegunungan, benar-benar berasal dari sana.
Tak kalah penting pula, apakah kita telah memberi imbalan yang pantas kepada mereka yang menghasilkannya, yang secara tidak langsung telah medukung citra produk mau pun perusahaan kita.
Budaya Urbanisasi
Barangkali piar-piar kota tersebut sangat ahli menceritakan bagaimana gaya hidup dikota yang begitu gemerlap, sampai pada ukuran kesuksesan yang disimbolkan dengan merek jins buatan luar negeri seharga setengah kwintal beras mereka.
Tak ayal, Purwanto yang telah dua tahun bertani semenjak menyelesaikan sekolah tingkat menengah pertama ingin ikut mengadu nasib di kota-kota besar yang menyediakan berbagai mimpi yang belum pernah Purwanto bayangkan sebelumnya. Tentunya dengan keterbatsan skill, pendidikan dan semuanya sangat sulit bagi semua orang kampung semacam Purwanto untuk menggapai segudang impian di kota.
Sedangkan volume arus mudik bisa dipastikan akan lebih besar menyerbu kota-kota besar. Perantau-perantau baru selalu menjai masalah pemerintah kota seperi Jakarta. Namun pernahkan kita semua berpikir apa yang sedang terjadi di kampung-kampung udik seperti sekarang ini?
Jawabanya,sama seperti kota-kota besar, dengan keterbaasan potensi daerah yang tidak bisa lagi mencukupi kebutuhan, banyak kemelaratan terjadi di kampung, harga minyak ataupun listrik sama menyekiknya yang terjadi di kota.
Lantas apakah ini, Indonesia bukan Jakarta, persoalan Indonesia bukan hanya persoalan Ibukota, sedagkan pengharapan satu-satunya dari wakil-wakil rakyat melempem, kandas tak bisa berbuat apa-apa, ada masalah yang lebih penting kata mereka.
**Pegiat LPM Pabelan, Komunitas Penyair Tak Berbakat, Mahasiswa Fak. Geografi