Setelah berbagai perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 62 hendaknya masyarakat Indonesia tidak melupakan kerja keras untuk terus membangun bangsa ini. Nampaknya masyarakat indonesia mulai diserang yang namanya ‘virus pelayang’, kenapa penulis memberi nama demikian? Lihat saja gejala yang mulai muncul yaitu bumnya bunga Gelombang Cinta dan berbagai jenis Anthrium semisal jemani.
Fenomena ini unik untuk diperhatikan, ketika demam bunga ini menjadi sebuah tren baru yang mewabah hingga kedesa-desa ini bermasalah. Bayangkan ketika para petani menjual sapi-sapi, dan menguras gudang-gudang padi untuk membeli beberapa bibit bunga yang harganya 100 kali lipat dari harga gabah per kilonya.
Dengan mengharap tanaman tersebut dalam beberapa tahun akan menghasilkan uang yang sangat fantastis nantinya. Namun siapa yang bisa menjamin harga bunga Gelombang Cinta akan semahal seperti sekarang ini.
Dalam fenomena meledaknya harga beberapa bunga sebenarnya menyentuh batas irasional, mengapa tidak secara fungsi jelas tanaman hanya sebagai penghias teras. Sedangkan jika jika dibandingkan dengan bunga sekelas angrek tentunya penampilan jemani akan kalah jauh bahkan sebenarnya lebih mirip tumbuhan semak awar-awar yang ada di tepian pantai.
Bisa jadi, masyarakat lebih menyukai membayangkan daripadi melihat realitanya, karena biasanya bembayangkan dijadikan pelarian yang membahagiakan ketika tidak bisa mencapai kenyataannya. Dan akhirnya masyarakat akan menjadi lemah dan kebingungan dalam bidang ekonomi (usaha/bisnis untuk pemenuhan kebutuhan).
Sedangkan pasar bebas sudah diujung pintu dan akhirnya mau tidak mau masyarakat Indonesia harus siap dengan itu.
Otonomi Daerah
Selama kurun waktu 30 tahun pemerintahan maupun ekonomi Indonesia dibangun dengan sistem sentralistik. Alhasil, proses dan pendekatan pembangunan pun seragam dan tak menhiraukan potensi unggulan yang sejatinya menjadi kekuatan daerah. Tak pelak ketimpangan antara pusat dan daerah, aerah satu dengan daerah lainya terjadi.
Ketimpangan inilah sebenarnya yang ingin dikejar pada tiap-tiap daerah, sorang kepala daerah akan dianggap berhasil jika mampu meningkatkan Pendapatan Asli Darah (PAD). Ternyata penggalian sumber PAD itu membawa ekses, berupa peningkatan biaya untuk melakukan bisnis. Keterbatasan anggaran dan lemahnya proiritas kebijakan membuat daerah menggenjot penerimaan pajak dan retribusi.
Pada kenyataanya kebijakan menaikkan pajak dan retribusi kepada pelaku bisnis sangat merugikan, karena banyak investor yang urung melakukan bisnis di daerah tersebut.
Potensi Unggulan
Data yang dilansir Komite Pemantai Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada 2003 misalnya, menyebut, 500 Perda dari 1300 Perda yang dianalisis, merupakan perda yang bermasalah baik secara prinsip, subtasi maupun teknis. Akibatnya, nilai investasi yang pada taun sebeumnya sempat bertambah US$ 145 juta, pada 2003 berkurang US$ 597 juta. Dan salah satu penyebab kemerosotan itu, disamping masalah birokrasi adalah tingkat perpajakan yang tinggi dan kepastian hukum (TEMPO 19/08).
Paradigma tersebut harus berubah ke paradigma yang memilikipandangan jauh kedepan untuk menumbuh kembangkan perekonomian yang berkelanjutan, dengan kekuatan yang bertumpu pada keunggulan potensi daerah.
** Pimred Pabelan Pos 2005/2006
Senin, 01 Oktober 2007
Membangun Daerah Melalui Potensi Unggulan
Oleh: Suut Amdani*
Langganan:
Postingan (Atom)